Tuesday, March 26, 2013
Diriku...
Aku lahir di Solo 26 September 1980. Aku menyelesaikan studi akhir di Fakultas Sastra dan Seni Rupa, jurusan Sastra Daerah Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta tahun 2007. Sebagai seorang presenter berita TV lokal di kota Solo, pada tahun 2003 aku tertarik dalam dunia seni khususnya seni suara dan seni peran, diawali dengan bergabung mengikuti dan belajar pada dua komposer Indonesia (Jawa Tengah), Darno Kartawi dan Dedek Wahyudi, hingga berlanjut berperan aktif dalam karya kreatif mereka di beberapa kesempatan. Sebagai seorang penyanyi profesional, aku telah membantu beberapa project dari beberapa komposer kenamaan Indonesia, diantaranya I Wayan Sadra (Suluk Hijau-berkolaborasi dengan Alm WS Rendra), Sujiwo Tejo (Pengakuan Rahwana-Drama Musikal; Bengawan Solo-Tolu One mini album-Arr Viky Sianipar), Slamet Gundono (Wayang Suket), Danis Sugiyanto (keroncong Swastika).
Di tahun 2009 dan 2010, aku terpilih mewakili Indonesia, menyanyikan salah satu lagu keroncong terbaik komposer Indonesia 'Bengawan Solo'-Gesang, bekerjasama dan berkolaborasi dengan musisi-musisi, dan penyanyi dari 11 negara ASEAN Korea, dan 2 tahun berturut-turut dalam perhelatan konser musik se ASEAN Korea- AKTO (ASEAN Korea Traditional Orchestra) di Seoul-Jeju Island-GwangJu. Tahun 2010 aku terpilih menjadi Ikon dan mempromosikan salah satu event International di kota Solo - Solo International Performing Art 2010 (SIPA 2010). DI tahun 2010 pula aku terpilih menjadi salah satu pengisi acara BANDUNG WORLD JAZZ bersama akordeon band. Di awal tahun 2011 aku mendapat kesempatan menyanyikan salah satu music keroncong “walang kekek-Waljinnah” dalam konser A Masterpiece Of Erwin Gutawa. Aku Saat ini sedang menyelesaikan tahap akhir Album Solo bekerjasama dengan salah satu bassis terbaik Indonesia Bintang Indrianto dan AKORDEON Band. Aku tinggal di Jl Masella II no 87, Kepatihan Kulon, Surakarta 57129, Jawa Tengah-Indonesia.
Sruti Respati dan musim sinden naik daun
sumber: http://www.bbc.co.uk/indonesia/majalah/2013/03/130303_sruti_musik.shtmlProfesi sinden kembali dikenal masyarakat Indonesia karena beberapa acara televisi swasta memboyong 'pesinden' dalam berbagai program tayangan mereka.
Penyanyi tradisional karawitan (Jawa dan Sunda) ini kerap dicirikan sebagai perempuan berkain batik dengan kebaya melekat di badan dan sanggul besar di belakang kepala.
"Saya senang dan bangga (profesi) sinden ini bisa lebih dikenal masyarakat luas, karena ini sebenarnya PR kita untuk mempopulerkan ada profesi cantik lain selain dengan apa yang populer saat ini," kata Sruti Respati saat diwawancarai untuk program Info Musika BBC Indonesia.
Sruti, pesinden mungil berusia 32 tahun, sedang bersiap tampil untuk menyanyi pada sebuah acara kompetisi bakat di salah satu stasiun televisi swasta.
Tampil cantik dengan gelung besar di belakang rambut yang disasak tipis serta kebaya moderen yang memperlihatkan belahan dadanya, Sruti memang tidak menyinden, tapi menurutnya apa yang dilakukannya sejalan dengan ide 'melestarikan budaya sinden dan seni Jawa'.
"Kenapa saya mau terjun sedikit melebar ke sinden yang agak ngepop atau ngejazz karena memang niat saya saya tidak perlu menjadi orang Barat untuk bisa menyanyi jazz atau pop, saya tetap bisa menyanyi diatonis tetapi begitu denger saya orang langsung… ooohh ini orang Jawa", katanya serius.
Lahir dari keluarga yang kental dengan suasana seni Jawa, Sruti mengaku sudah terjun sebagai sinden profesional sejak usia sekolah dasar. Ayahnya, dalang kenamaan Sri Joko Rahardjo asal Klaten, mendudukkannya dan kakaknya Endah Laras, di antara para sinden 'betulan' yang lebih senior dalam pertunjukan wayangnya.
Seperti seniman dari Cina, India atau belahan bumi mana pun tampil dengan ciri tradisi menurut Sruti sangat penting untuk 'mengentalkan jati diri' agar dapat dipandang sebagai bangsa yang besar.
"Paling tidak kita punya karakter sebagai bangsa Indonesia, dalam hal ini Jawa karena Jawa bagian dari Indonesia," tambah ibu beranak satu ini.
Album crossover
Sruti yang juga berstatus sebagai PNS adalah generasi sinden yang kemudian naik daun dan kerap menerima undangan manggung di ibukota.Bintang dan kawan-kawan mendandani Jamuran, lagu klasik yang 40 tahunan lalu biasa dinyanyikan anak-anak di Jawa saat bermain di bawah bulan purnama, menjadi sebuah kolaborasi yang layak telan (palatable) untuk telinga yang asing dengan sejarah lagu itu.
Dalam Cublak-cublak suweng, aransemen ceria dan permainan seksi tiup (horn) yang meriah lebih berhasil mengawinkan suara Sruti dengan ragam instrumen moderen sehingga aura lagu dolanan tempo dulu ini sangat terasa.
Dalam Gambang suling, salah satu lagu berbahasa Jawa paling popular karya empu karawitan Ki Narto Sabdo, Margie Segers memberi aroma khas jazz dalam tubuh aransemen dan Sruti yang menyanyi seperti pakem memberi bobot sehingga kolaborasi ini terdengar berisi.
Tetapi kekuatan utama Sruti, tentu saja, tetap pada keindahan vokalnya saat duduk menyinden dalam bahasa Jawa. Lantunan bowo yang menggugah, lantang dan berkelok-kelok, sulit dipercaya keluar dari seorang yang begitu mungil.
Kampanye dalam negeri
Seperti juga lagu dolanan yang kini jarang dinyanyikan anak-anak desa di Jawa, apakah Sruti khawatir suatu saat sinden akan turut punah?"Tidak juga, di Solo dan sekitarnya saat ini ada banyak sekali sanggar seni Jawa tempat anak-anak belajar menari-menyanyi, mereka ini yang akan meneruskan generasi sinden atau dalang kelak," katanya penuh harap.
"Sekarang banyak sekali yang berminat menjadi sinden, dan itu titik cerah yang baik buat republik ini. Selama seni tradisi masih lestari, berarti jati diri bangsa kita masih bertahan," kata Sruti.
Selain sorotan dunia televisi yang glamor, daya tarik menjadi sinden pasti lah terletak pada tingginya honor menjalani profesi ini. Kabar menyebut seorang pesinden ternama dibayar sampai Rp100 juta untuk tampil selama dua jam saja.
Tingginya animo publik bahkan mendorong Universitas Negeri Semarang menggelar kontes Sinden Idol tahun lalu untuk menjaring sinden-sinden berbakat di Jawa Tengah.
Meskipun begitu menurut Sruti yang bersuami pembalap ini, fokus utama kampanyenya untuk melestarikan profesi sinden dan budaya Jawa tetap ke dalam negeri.
"Kita lihat sendiri; cara orang bicara, berpakaian, memilih tontonan, semuanya memberi penghargaan yang sangat kurang pada local genius."
Sementara di luar negeri, menurut Sruti musik tradisi Indonesia jauh lebih dihargai dan digemari, dipelajari serius di berbagai universitas terkemuka.
Kolaborasi Sruti terbaru, dalam bentuk pementasan teater, akan dipanggungkan oleh sutradara Garin Nugroho di Teater Djakarta pertengahan Maret. Sruti akan bernyanyi dan menari sebagai pemeran utama dalam lanjutan lakon Opera Jawa besutan sutradara ternama itu.
Sruti Respati: A Democratic 'Sinden'
sumber: http://www.thejakartapost.com/news/2010/12/24/a-democratic-039sinden039.html
Sruti Respati prefers to be called a sinden (a gamelan orchestra singer) rather than a vocalist.
It’s not that she regards one profession superior to the other, but believes the term sinden better reflects her Javanese character.
“Saying I am a sinden reminds me of my passion for traditional arts on which I’ve thrived. It’s more appropriate for me to be called a sinden and I’m proud of it,” said the young woman.
Born in Surakarta, also known as Solo, in 1980, Sruti was brought up in a family steeped in Javanese traditional arts. Her father Sri Djoko Rahardjo and grandpa Ki Njoto Tjarito were famous dalang wayang kulit (leather puppet show players) in Solo, while her mother Sri Maryati was a Javanese dancer.
“When I was a child, my father frequently took me to watch his wayang shows. When I grew up, now and again I would join wayang performances and karawitan [gamelan music and vocals] concerts as a sinden, besides also dancing with my mother,” added Sruti.
She moved to Jakarta with her family when she was a second grader and finished her junior high school (SMP) in the capital. There, she became acquainted with various kinds of modern music like classic, jazz, rock and pop. While she liked listening to them, she never wanted to abandon traditional arts.
“In SMP I took different lessons including ballet. I tried almost everything as a teenager. Now I am familiar with many arts, which was useful for my emotional enrichment,” said the graduate of Javanese literature from Sebelas Maret State University (UNS), Solo.
She began her sinden career when she returned to Solo after finishing high school. While studying in college, she appeared in various wayang and orchestral performances. During those years, she met several karawitan musicians in Solo. Besides learning from her father, she was a Banyumasan (southern gamelan music) student of Arno Kartawi and Suyoto, lecturers at the Indonesian Arts Institute (ISI), Solo.
In 2002, Sruti became a protégé of ethnic musician Dedek Wayudi, who later introduced her to some experts including Wayan Sadra, Danis Sugiyanto and Rahayu Supanggah. Through her involvement in the many concerts organized by these noted Solo musicians, Sruti grew into a reliable sinden. Once-musician and noted dalang Sudjiwo Tedjo was drawn to her stage skills and has since collaborated with her in his shows.
Beyond her vocal skills for wayang and gamelan orchestration, she further expanded her techniques to cover contemporary music, jazz, and keroncong (pop music with a Portuguese tint), the last with the Swastika keroncong group.
“I allowed myself to explore different musical genres as I don’t like being limited to one type of music,” said the wife of Wahyu Wijayanto.
Under the instruction of gamelan specialist Rahayu Supanggah, Sruti was selected to represent Indonesia at the ASEAN-Korea Traditional Music Orchestra in Korea for two years in a row (2009 and 2010). In the forum, Sruti presented langgam (Javanese pop style) Bengawan Solo or Solo River and mobile concerts in several South Korean cities.
“I grew up with Javanese art but I’ve come to know diverse musical genres. I’m going to retain the character of Java in whatever music I sing, as my way of highlighting Javanese traditional arts,” said the woman, who in July became the icon of the Solo International Performing Art (SIPA) program in this Central Java city.
In her early musical explorations, Sruti was more engaged in Javanese langgam and keroncong, and later in contemporary and jazz music. Determined to highlight the Javanese character of the songs she presents, Sruti is in fact obsessed with bringing Javanese art to the world stage.
“We have more than pop music, as the country’s traditional compositions are great works. We should introduce our cultural riches to the outside world. Since I’m Javanese, I’m automatically an advocate of Javanese art,” said the sinden, who on Dec. 17 jointly performed with Sudjiwo Tedjo at Airlangga University, Surabaya, East Java.
Sruti is able to combine Javanese cengkok (pitch or key changes) with modern music’s vocal techniques. She manages to give the sinden vocal color to any musical genre, especially jazz.
In December 2009, for instance, she stunned the audience at the Solo City Jazz. Her collaboration with Bintang Indrianto (Akordeon group) became a memorable event. She repeated her success in 2010 with Akordeon (Bintang Indrianto, Rindra “Padi”, and Roedyanto Warsito).
“Sinden and jazz share the same feature of allowing room to improvise. Hundreds of cengkok variants in traditional poetry singing are equivalent to jazz improvisations,” said Sruti, who in early December appeared at Bentara Budaya Jakarta along with her band, Sruti Respati and Friends.
With Sruti, traditional and contemporary music can be enjoyed at the same time. The character difference between both styles, normally very markedly perceived, fades away and turns into a type of uniquely “new music” pleasant to the ear yet still impossible to define.
Sruti said she was lucky to have grown up in a moderate family of traditional artists and later meet with great musicians in Solo.
They’re great not only because of their ingenuity in musical innovation but also their democratic attitude toward musical expression.
“They’ve never been shackled by a single type of music. They are democratic for being open to the other types [of music]. There’s no more single genre representing a certain group, because music is a democratic forum. I’m a democratic sinden,” she said laughingly.
Sruti is winding up her musical journey in 2010 by releasing a jazz album entitled Sruti: Kemarin, Esok, Adalah Saat Ini (Sruti: Yesterday, Tomorrow, is Today). It’s a collaboration with artists Bintang Indrianto and Imam Garmasah.
Sruti Respati Bawakan Lagu Whitney Versi Keroncong
sumber : http://www.tempo.co/read/news/2012/03/03/112387825/Sruti-Respati-Bawakan-Lagu-Whitney-versi-Kroncong
TEMPO.CO, Jakarta - Penyanyi kontemporer Sruti Respati ikut menghangatkan hari pertama Java Jazz Festival 2012 yang digelar di JIExpo Kemayoran, Jakarta, Jumat, 2 Maret 2012.
TEMPO.CO, Jakarta - Penyanyi kontemporer Sruti Respati ikut menghangatkan hari pertama Java Jazz Festival 2012 yang digelar di JIExpo Kemayoran, Jakarta, Jumat, 2 Maret 2012.
Meski tak ramai didatangi penonton di venue tempat ia bernyanyi, penampilannya menjadi warna tersendiri di ajang itu.
Tampil mengenakan setelan kebaya khas solo, Sruti energetik di atas panggung bersama para pemain band-nya. Lagu-lagu yang dibawakan Sruti terdengar unik karena mengawinkan jenis musik tradisional dan modern. Walhasil, irama yang dihasilkan kadang bernuansa jazz, pop, bahkan rock.
Usai membawakan lagu Zendie, Sruti cs mencoba mengajak penonton untuk mengenang mendiang penyanyi Whitney Houston di venue. Lagu yang dipilih Sruti adalah I Wanna Dance With Somebody di-medley dengan I Will Always Love You.
Uniknya, saat membawakan I Will Always Love You, aransemen musik sedikit diubah menjadi lebih tradisional. Apalagi teknik vokal cengkok keroncong milik Sruti begitu kental terdengar menghibur penonton.
Sruti Respati dikenal sebagai pesinden di tempat kelahirannya di Solo. Ia memulai proyek musik eksperimentalnya bersama produser Bintang Indrianto, yang merupakan pemain bas dalam band-nya. Lagu-lagunya yang berbau tradisional membuat kiprah Sruti punya citra tersendiri sebagai seorang musisi.
YAZIR FAROUK
Tampil mengenakan setelan kebaya khas solo, Sruti energetik di atas panggung bersama para pemain band-nya. Lagu-lagu yang dibawakan Sruti terdengar unik karena mengawinkan jenis musik tradisional dan modern. Walhasil, irama yang dihasilkan kadang bernuansa jazz, pop, bahkan rock.
Usai membawakan lagu Zendie, Sruti cs mencoba mengajak penonton untuk mengenang mendiang penyanyi Whitney Houston di venue. Lagu yang dipilih Sruti adalah I Wanna Dance With Somebody di-medley dengan I Will Always Love You.
Uniknya, saat membawakan I Will Always Love You, aransemen musik sedikit diubah menjadi lebih tradisional. Apalagi teknik vokal cengkok keroncong milik Sruti begitu kental terdengar menghibur penonton.
Sruti Respati dikenal sebagai pesinden di tempat kelahirannya di Solo. Ia memulai proyek musik eksperimentalnya bersama produser Bintang Indrianto, yang merupakan pemain bas dalam band-nya. Lagu-lagunya yang berbau tradisional membuat kiprah Sruti punya citra tersendiri sebagai seorang musisi.
YAZIR FAROUK
Subscribe to:
Posts (Atom)